The Right Time to Get Married

Alkisah seorang anak laki-laki bernama Budi, selepas wisuda sekolah menengah atasnya, bertanya kepada ayahnya apa yang harus ia lakukan selanjutnya pasca kelulusan jenjang wajib sekolahnya. Si ayah lantas menjawab bahwa Budi sebaiknya go to college. Fast forward sekian tahun kemudian, Budi berada pada hari kelulusan kuliahnya, dan iapun bertanya lagi pada ayahnya, tentang apa yang harus dia lakukan berikutnya.

Si ayah terdiam sejenak, lalu menyarankan bahwa mungkin ia sebaiknya get a job. Budi did just that. Fast forward lagi ke beberapa tahun ke depan, Budi yang sudah bekerja lalu bertanya lagi kepada ayahnya, pertanyaan sama yang ayahnya pernah dengar sebelumnya, “Dad, now what?” Si ayah dengan tidak yakin kemudian menjawab, “I don’t know. Get married.”

What’s happening di ceritanya Budi di atas adalah gw rasa mungkin ngewakilin banyak cerita orang-orang (termasuk beberapa dari temen gw sendiri), dengan versinya masing-masing kemodif dikit. Kehidupannya dijalankan seakan-akan according to default blueprint yang cuma consist of: Sekolah – Kuliah – Kerja – Nikah – Decaying (pola yang dianggap wajar di sini?). Pola yang sama lalu diturunin ke anaknya, dan siklusnya berulang lagi dari awal. Si anak pergi sekolah, sampe kuliah, terus cari kerja, terus nikah, akhirnya sampe terurai mikroorganisme di dalam tanah.

Ada yang salah dengan gambaran ini? Sebetulnya sih gak, kalo diliat sekilas. Tapi kalo ditelaah lagi, betapa ngebosenin dan rada sempit wawasannya. Kenapa gw bisa bilang gitu? Karena if only mereka sadar dan ngerti bahwa there’s so much more to life, gw rasa mereka ga akan give away freedom mereka that easily. Now what does freedom have anything to do with this? Everything. Now where does freedom fit into this equation? Right on the kerja & nikah part.

What We’re Signing Up For

Sebagian pekerjaan ada yang bener-bener nge-confine ruang gerak orang (which is totally the case for most of working class people). Misalnya, bayangin aja di Jakarta yang super macet. I’d say up to 60% waktunya abis di jalan. Yang berarti mereka capek dan harus istirahat buat besok pagi-paginya siap buat kerja lagi. Mending pekerjaannya juga adalah sesuatu yang orang itu suka ato setidaknya manage to keep him/her interested, other than monthly paychecks. Kalo ga, ya kurang lebih si pekerja itu bakal unsure dengan contentment level-nya dia dalam hidup.

Rutinitas gini, di-combo dengan nikah, makes for a perfect straightjacket (jaketnya orang sakit jiwa buat restrain movement, therefore si pasien ga membahayakan dirinya ato orang lain). Apalagi jaman sekarang, yang making a living aja udah hard enough, biasanya ngebikin baik si kedua pihak pasangan jadi harus tetep keep their jobs, dan di-juggle dengan kehidupan rumah tangga mereka. Kalo mereka punya anak, kemungkinan besar anaknya jadinya diasuh oleh kakek-neneknya (kalo masih kuat), ato terpaksa rely on sitter services. Orangtua si anak pulangnya malem (karena macet tadi), jadinya makin nge-limit quality time antara orangtua dan anak.

Situasi yang udah kayak gini mateng banget buat bikin keriting suasana (real handful), karena si kakek-nenek jadi ikutan harus nge-juggle private lives mereka dengan kegiatan asuh cucu (in case mereka masih sebagai productive members of the society), ato kalo pake opsi jasa sitter, make sure aja kalo sitter-nya well-trained dan ‘lurus’. Siapa yang mau anak tersayangnya jadi korban bully sitter-sitter yang kejam gara-gara poor supervision? (tau cerita-cerita inhumane treatment sitter ke anak yang kalo sampe orangtuanya tau bisa bikin pecah kepala?).

Lanjuts, si anak bertambah besar, dan saatnya masuk sekolah. Buat kasus yang satu ini, gw mau summon cerita yang really grab me by the balls (figuratively speaking, of course). Iklan print-ad sebuah produk kondom, yang konsepnya sederhana banget cuma tulisan gede berupa currency sebuah negara dan nominal uangnya, segede-gede gaban di dead center. Jadi ada kayak semacem pricetag yang mahal, gede, dan di bawahnya ada caption ‘per child per year’. Gw pas pertama kali liat, langsung mikir, “Good one.” Artinya sebenernya simpel, pake kondom (produk kita) supaya lo ga jadi terbeban dengan biaya sebesar itu per year per child. Surely, resiko lahir anak yang tak terencana gara-gara ga pake kondom would throw you off-balance. And being a Pro-life that I am, abortion is absolutely out of the question, unless you decide to hurt God personally.

Balik ke topik, intinya biaya yang harus lo keluarin buat anak bakal mahal banget. Jelas lah ya mahal, nenek-nenek diinfus juga tau. But one thing that we also know is, trend harga will steadily go up over the forthcoming years. Sekolah, popok, susu, buku, toys, et cetera. Obvious banget lo pikir? Tunggu dulu, soal biaya gak as grave as the implications of the other pitfall, the infamous lack of true parenting. Biaya so pasti ga akan jadi masalah buat orang-orang dari kalangan mid-upper. But what is true parenting again, exactly?

I grew up exposed to the western culture. Tapi jangankan western, di sini juga udah ada banyak contoh parenting style, yang meski beragam tapi share commonalities. All I’m trying to say is, gw udah amatin that many parenting style and principles, that many dan berbeda-bedanya produknya, yang bisa dilihat dari anak ini tumbuhnya jadi gimana, as a person. And personally, I don’t like what I saw. Kenapa gw bisa bilang gitu, karena macem-macem produk yang adalah anak-anaknya ini (yang sekarang jadi adults & young adults) itu macem-macem ajaibnya. Iya, ajaib di sini yang gw maksud adalah kekurangan/personal flaws. But hey, nobody’s perfect, right?

So true, tapi coba liatnya jadi gini, sebenernya what is it all about dengan menjadi orangtua? What is it being a parent is all about? One person I admired says it best, “It’s about transfering responsibility”. Maksudnya? Orangtua bertanggungjawab untuk nge-groom anaknya supaya akhirnya jadi fully responsible of themselves. Ibarat maen layangan, awal-awal mesti diangkat supaya akhirnya ntar dia bisa sendiri terbang di langit tinggi without your support anymore. This includes being financially responsible, able to take care of self, able to form their own opinions and make decisions for themselves. Tapi every once in a while, ada saatnya kita bantu steer the kite back to its upright position seandainya dia terlalu melenceng ke kiri ato kanan. Eventually layangan ini akan putus cord-nya dari lo, dan menjelma jadi penarik layangan sendiri on his/her own right. Idealnya begitu.

Namun sayangnya, ga semua orangtua ngerti manual for true parenting gimana. Mungkin ada kali buku parenting for dummies? Haha. Coba inget, pasti ada salah satu dari orangtua kenalan lo yang super ajaib; super-abusive ke anak sedari kecil (ini yang paling parah), verbally and physically, anaknya sampe jadi trauma & psychologically scarred. Yang super protektif dan super manjain, sampe anaknya jadi crippled, ga mandiri, ga bisa take care diri sendiri. Yang ignorant gara-gara keasikan karir, sampe anak-anaknya turn to worse things for attention. Ada juga yang ga ngasi kesempatan anaknya buat nge-express perasaan dan pendapat dia, yang biasanya done unintentionally.

All that jazz lah. Gaya-gaya ‘bebas tapi ga sopan’ (kuliah kali?) ini, masing-masing menciptakan flaw di karakter anak, yang akan mereka carry into their adulthood, unless it’s ‘fixed’. Itulah kenapa ada orang yang udah toku (tua), tapi kelakuan dan keputusannya ga age-appropriate. Questionable. Umur bukan jaminan orang akan bisa jadi the best possible version of themselves. They’re just 33-years-old 15 years old.

We ALL are the products of one of these errors in our upbringing dari rumah, baik yang orangtuanya super-sugih ato berasal dari working class. I’m one of them as well. Dari situlah kita perlu belajar, on how NOT to become one of those parents so our children don’t have to suffer the undesirable by-products. Pasti kita semua ada satu dua hal yang ga kita setujuin dari cara orangtua kita, yang sampe bikin kita mikir, “Ntar pas gw jadi orangtua, gw ga akan kayak gitu ke anak gw.”

We all learn from mistakes and experiences. Experiences breed wisdom, and good thing they accumulate with time. Dengan waktu juga, karir kita juga udah akan on full swing. Ibarat bendera, dia udah berkibar tinggi, ga masih piyik. Jadi kita bisa fokus perhatian kita berikutnya ke anak-anak, karena karir udah that much settled. Kesimpulannya, the solution of the problem would be, tunda nikah. Tapi tunda-nya sampe kapan? Itu hanya masing-masing kita yang bisa ngerti ngejawabnya. That’s why we need to instil the habit of reflecting on ourselves, so we know what are the lessons learned, how far we’ve come and how far we still have to go.

There’s So Much More to Life

Gw yakin kita semua punya mimpi. Bukan mimpi macem bunga tidur tiap kita ngiler tiap malem in our beds (I know some of you still do). Tapi dreams that we dream to achieve (mau ke sini, mau jadi itu, mau punya ini, mau capai itu). Apapun bentuknya itu, I can assure you it requires a certain degree of freedom. Dan as you all would’ve guessed it, freedom doesn’t go hand in hand dengan marriage. Kalo lo tetep/ga-sengaja maksa, yang ada lo harus ngorbanin salah satunya yang ga pengen/siap lo korbanin.

Ini kan juga udah bukan era 80’an or the periods before, di mana jamannya masih rame keluarga besar, anak minimal tiga, nyari kerja yang entry-level masih gampang, nikah on their twenties. Sekarang udah 2013 men, coba cek jumlah penduduk di Indonesia (developing, present participle/continuous) berapa. Apalagi lo tinggal di Pulau Jawa, kerasa banget padetnya. 200an juta jiwa, and still counting. Perna cek jumlah penduduk di kota maju (developed, past tense) kayak misal Belanda? Ever wondered how come our nation has a staggering population yet underdeveloped?

Korelasinya adalah, makin dikit makin gampang diatur, dan most likely banget karena juga orang-orangnya udah berpikiran maju. Mereka udah ngerti apa yang banyak dari kita belom ngerti. They delay their marriages for all the good reasons. That’s one more reason why we need to learn and arm ourselves with substantial amount of knowledge and wisdom, before we’re ready to impart them to our offsprings. Do our country a favor, please!

Makin banyak penduduk juga, ramifications yang timbul dari situ juga makin ribet. Kompetisi di job market super ketat, even buat yang strata pendidikan tinggi, apalagi yang buat sekolah aja orangtuanya susah payah sampe ada yang niat jual ginjal? (Terrible, yet true). This leads to general unhappiness in the society, jadi breeding grounds deh buat all imaginable kinds of crime (white & blue-collar), di-combo dengan hukum dan undang-undang yang kurang ketat dan gampang di by-pass. This is very true. Nonton sekali-sekali BBC Knowledge, pas lagi ngebahas results dari tingginya angka kelahiran di suatu negara (coba cek India ato Bangladesh). Kok kayaknya gw bahasnya kejauhan ya?

Balik lagi ke subjek. Temen sebaya gw ada yang bakal nikah weekend ini. I do sincerely wish them the very best in their endeavours. Tapi gw? Gw masih mau nikmatin kehidupan dan freedom yang ga lama lagi mesti gw korbanin buat future family gw. And when I do, I’d do it willingly and gladly. Gw masih mau keliling dunia, see the world, perkaya wawasan gw dengan berbagai macem budaya. In time juga, gw akan ketemu future spouse gw yang terbaik yang saling nge-complement satu sama lain, dan personal traits-nya fits me like a glove. All in all, menurut gw waktu yang tepat buat nikah adalah tunda sampe at least kita udah yakin untuk trade freedom kita untuk settling down dengan our future family. Plus lo juga udah khatam dengan what you’re signing up for. That would be a massive advantage.

Soal nunda nikah, gw juga udah foresee kira-kira tantangan yang bakal muncul adalah ketika orang-orang ngelempar random question ke kita tentang kapan nikah (which is really annoying, in case you didn’t notice, people!). Tiap orang nanya gw gitu, awalnya gw pikir gimana bisa mereka segitu dangkalnya untuk expect gw nikah di waktu yang menurut gw relatif terlalu dini. Tapi kadang itu ga lebih dari sekedar pertanyaan basa-basi yang super basi. Meski basa-basi, kadang-kadang the words bisa carry some weight and pressure juga, kalo yang ditanya ga bisa nge-handle itu dengan cantik. Kalo akhirnya overwhelmed by the heat/pressure, ujung-ujungnya panik dan jadi tunnel-vision: mikir mesti buru-buru ikutan jump on the bandwagon, karena semua orang udah kecuali gw.

My advise would be, you mustn’t let it get to your head. Emang mungkin easier said than done, apalagi buat cewek. Cewek khususnya, punya tantangannya tersendiri. Mereka yang kalo ‘menurut social standards di Indonesia’ telat nikah, kemungkinan besar bakal sering direcokin dengan pertanyaan macem gini, sampe akhirnya jadi tekanan sendiri, akhirnya interferes with their ability to make clear and sound judgment. Ini ga terbatas cuma di cewek aja, tapi gw amatin ini lebih prevalent di cewek. Mungkin karena cowok bisa selalu get away dengan nyari yang lebih muda, sedang cewek don’t have such privilege. But hey, ini taun 2013 men, waktunya emansipasi makin dikencengin more than ever before. Angin kali kenceng?

4 thoughts on “The Right Time to Get Married

  1. hahaha..
    agree with u.. all that u says, remind me about something, something annoying, weird question, that you’ve asked in the past, “when will u’ve a boyfriend???” ciaaaatttt!!! i’m gonna kick u away that time! :))

    Like

    • Heh siapa nih!

      Ahaha. Thanks! Glad we’re on the same page here. Masak iya gw ditendang2, emang gw kucing? Ahahaha.

      Puji Tuhan, nambah lagi orang yang pikirannya makin terbuka soal nikahan.

      Tos perut dulu lah kita.

      Like

      • hahaha..ogah gw tos perut, secara gw langsing..
        berbahagialah kita adl sahabat *setidaknya buat gw* hahaha..
        TBC, gw teringat 50rb rupiah yg ga gw jajanin demi berbagi sama lo dan si pup..
        ya ampun, gw rindu masa2 geje jaman kuliah.. kapan lagi 3 anak muda alay nongkrong di kantin dari hari panas terik sampe bintang kedip2 nyuruh pulang :))

        Like

      • ahahah, setelah seminggu ga boleh buka sosial media ya? itu demi kebaikan lo sendiri sah. toh juga hasilnya gw juga yang ikutan nikmatin, ahahahah nasi goreng mandiri. such good ol’ times.

        Like

Leave a comment